Jumat, September 28, 2007

Matahari Pagi Di Kampung Koperasi


Oleh : Cep Anton Firtana, SE

Pagi itu matahari enggan untuk bangun dan masih diselimuti kabut pagi, suara ayam berkokok pun nyaris tak terdengar, yang terdengar hanya hembusan angin sepoy menusuk tulang. Pagi itu tak sengaja ia melihat seorang perawan melamun diteras rumahnya sambil menatap kosong ketengah persawahan.. Tak lama setelah ia melamun tiba-tiba perawan itu menjerit sejadi-jadinya, entah apa yang terjadi tak lama setelah itu ia terjatuh bercucuran air mata, manis apa yang terjadi hingga ia tersungkur dan berbisik seakan ia memendam sebuah rahasiah yang sulit untuk diucapkan.
Mencobalah ia untuk mendekatinya tapi apa yang terjadi ia mengucapkan sumpah serapah yang sangat disesali lirih ia berucap tapi ketajamannya sungguh sangat menusuk hati, jika benar ia yang gadis mimpi mengapa dengan lantang ia berkata tidak, mungkinkah ingin pergi jauh dari hatinya.
“Pergi kau dari hadapanku dan jangan pernah kau hadir dihidupku” mengapa ia berucap demikian padahal aku belum sekalipun mengenalnya apalagi terpikir untuk mencintainya.
Lalu akupun pergi dari hadapannya sambil kusimpan senyumku dihatinya tak lama ia pun berucap “itulah yang selalu kau lakukan, setelah kau menyakitiku kau pergi dari hadapanku” (lirih ia berucap dengan deraian airmata mambasahi parasnya yang cantik bak sinar rembulan purnama). Ku semakin tak mengerti siapa yang hendak ia tuju ku hanya seorang pejuang yang selalu kalah dimedan perang yang selalu menang didalam khayalan dan mimpi keindahan.
‘hi gadis cantik ku tak pernah mengenalmu apalagi berfikir untuk menyakitimu senyumlah, kau memang benar aku selalu menyakiti hati gadis dan pernah berkata if my love never come together, I’ll come to your heart tapi semua itu kulakukan karena aku sangat menyayanginya’
Setelah kuucapkan seluruh isi hatiku dan ia pun tersenyum sinis padaku dan kupun pergi dari hadapanya.dengan penuh tanda tanya mengapa semua terjadi seakan ku harus masuk dalam kehidupan pribadinya.
Kutinggalkan semua keindahan, laluku masuk terperosok kedalam jurang yang tak bertepian, didalam jurang kutemukan benih-benih kebahagiaan dengan pupuk-pupuk kemunafikan. Diam termenung menjerit, tapi jeritku tak bernada tewaku tak penuh suara hingga ku tersungkur dalam relung hitam jurang jahanam.
Kuberusaha naik dari tempatku jatuh dengan harap ku dapatkan sebuah senyuman, doaku terkabul mimpiku jadi kenyataan, entah berapa depa ku merayap dalam dinding kenistaan, entah berapa centi ku melangkah didalam kegelapan akhirnya kutemukan pencerahan dari sebuah bunga yang untuk mendapatkannya kulewati gunung-gunung dan kudaki bukit-bukit, ironi ia merubah murungku menjadi senyum, dustaku menjadi cinta tapi semua tak bertahan lama hanya sampai pada cita-cita.

Tidak ada komentar: