Jumat, September 28, 2007

Realita Pemegang Idealisme


Oleh : Cep Anton Firtana

Didesa yang penuh tawa, ia hidup dengan harapan dan impian, cita-cita ia gantungkan sejauh mata memandang, keindahan ia impikan sebebas burung berterbangan. Kasihan ketika ia hendak memetik bunga tanpa sadar durinya menusuk dada, merintih menangis lalu terdiam sejenak. Apakah gerangan senyuman yang ia berikan berakhir dengan luka yang dalam.
Keindahan, ketulusan dan hati penuh kebaikan ia berikan tapi malang pemuda itu jatuh dilembah hitam tanpa sedikitpun harapan, kasih hati penuh duri banyak kenangan kau berikan untuk bekalku ditinggalkan tetapi ketika kumenyadari kemudia semua itu hanya permainan, terhina lalu tertekan dalam hati penuh kekalutan, ia menginjak-injak kejujuran, ia mencabik-cabik kebahagiaan dan ia menyerang kebodohan dari sang petualang yang tak mempunyai harapan.
Malam yang tak berangin, berjalanlah aku menyusuri gelapnya hutan, tanpa tujuan ku melangkah, tanpa arah ku berlari, hingga sampaiku pada lembah yang dipayung sinar rembulan. Berteriak dalam keheningan menggugahku untuk menyadari semua jeritan hati sayatan rasa sangat terasa sampaiku berlabuh dalam hina yang tak berasa.
Jijik himpit rasa nan lara dalam petualangan itu tak ada setetespun harapan yang menghampiri hingga pada suatu waktu setangkai bunga mengajakku lalu. Dan meludahi hati ini sampai ciut bagaikan kecut yang sangat marut. Tetesan air mata hanya mampu membasahi kerlingan mata, tak dapat membasahi wajah ini, telah kering untuk berjuang membangun senyummu.
Terimpit ku diruangan yang pengap dikelilingi ketidak jujuran. Nila itu kini memenuhi belana, seluruhnya tanpa tersisa. Ku berusaha menendang nila itu, membuangnya tapi … dengan kamu, saya atau dengan siapa ku kini berjuang.

Tidak ada komentar: